
Aplikasi warna berkaitan erat dengan pembangunan dan pembuatan produk. Bahkan ketika warna ‘tambahan’ dihindarkan, ketika ‘kejujuran bahan’ sangat diagung-agungkan, warna tetap memainkan peran sebab setiap unsur, senyawa, dan bahan-bahan penyusun suatu produk semuanya memiliki warna. Cara memandang warna bisa sangat beragam. Ada yang memandang warna sebagai sesuatu yang ‘sekunder’ sehingga tidak terlalu diatur, ada yang memandangnya sebagai suatu ‘sangat berpotensi’ sehingga sangat perlu dikelola, ada yang mengelolanya dengan prinsip khusus, ada juga yang membiarkan ‘ketidaksengajaan’ memunculkan warna-warna secara acak.
Apakah warna adalah sesuatu yang signifikan ataukah ia sesuatu yang bisa diabaikan dalam arsitektur? Apakah ketiadaan warna itu baik, serta apakah pelapisan dengan zat pewarna bisa disebut ‘kejahatan’? Apakah warna membuat suatu bangunan, ruang, dan produk menjadi indah atau justru sebaliknya?
Secara praktis di dunia arsitektur, warna adalah sesuatu yang penting. Pelapisan suatu bahan dengan zat-zat pelindung yang berwarna tidak hanya penting, tetapi justru merupakan langkah kerja yang tidak boleh terlewatkan. Apapun bahan yang kita gunakan, baik itu beton, semen, bata, batuan, besi, baja, kayu, aluminium, plastik, serat, lumpur, semua perlu dilapisi dengan ‘finishing’ yang selain berfungsi melindungi bahan-bahan tersebut dari cuaca dan kerusakan akibat pemakaian, juga berpotensi memberikan ‘warna’ kepada bahan tersebut. Karena proses pelapisan itu pasti dilakukan, maka proses pelapisan ini adalah ‘kesempatan’ untuk mengaplikasikan warna. Kesempatan ini bisa digunakan dengan memilih warna-warna secara khusus, bisa juga tidak digunakan dengan memilih sesuatu yang transparan. Jika kita memutuskan memanfaatkan kesempatan untuk melapis warna, maka pertanyaannya warna seperti apakah yang kita pilih?
Pembahasan warna dalam arsitektur sangat luas. Akan tetapi pada artikel ini kita akan mengambil beberapa potret pandangan teori arsitektur terhadap warna, disandingkan dengan praktek penggunaan warna pada teori-teori tersebut.
Arsitektur adalah produk buatan manusia, yang dalam perjalanan sejarah pernah dianggap sebagai seni murni seperti halnya lukisan dan patung, namun pada hakikatnya adalah benda bermanfaat yang mungkin dibuat indah seperti halnya pot-pot keramik dan gelas-gelas kaca tanpa mengorbankan fungsinya sebagai bangunan. Dengan demikian, penggunaan warna pada arsitektur pun ada yang diadaptasi dari perkembangan benda-benda seni murni beserta filosofinya, juga ada yang diadaptasi dari perkembangan keramik hingga produk-produk populer lainnya seiring perkembangan zaman. Wilber (1942) menuliskan observasi penggunaan warna yang minim pada arsitektur Yunani dan Mesir selain warna-warna yang bernilai adat. Wilber juga menuliskan, penggunaan warna secara bebas justru ditemukan pada bangunan-bangunan di timur tengah (Near East) seperti penggunaan warna biru yang diadaptasi dari glasir keramik yang populer pada masa bangunan-bangunan itu dibangun.
Sementara itu Riley (1995) dalam bukunya yang berjudul Color Codes: Modern theories of color in philosophy, painting and architecture, literature, music, and psychology menuliskan warna pada arsitektur Modern yang dipengaruhi oleh perkembangan warna pada lukisan-lukisan Modern dan filosofi di baliknya seperti yang di bawa Kant, Goethe, dan seterusnya.
Ketiadaan Warna
Warna, sebagai bagian dari ornamen, pernah dianggap sebagai suatu tambahan yang kurang berguna, sehingga tidak terlalu diperlukan dalam rancangan arsitektur (ataupun rancangan benda berguna lainnya). Pendapat ini terutama dikaitkan dengan buku tulisan Aldof Loos (1913) yang berjudul Ornament and Crime dan didukung oleh kutipan ‘Less is More’ yang diutarakan oleh Mies van der Rohe (1947). ‘Ketiadaan warna’ dianggap oleh kritik dan pengusung teori ini dapat menjadikan bangunan lebih elegan, tidak pasaran, dan lebih puitis. Memang kenyataannya penggunaan warna dan komposisi beberapa warna bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak peluang komposisi warna yang gagal atau tidak harmonis apalagi ketika disandingkan satu bangunan dengan bangunan lainnya. Dengan ketiadaan warna tentunya berkurang satu tugas perancang sehingga usaha dan tenaga perancang bisa lebih difokuskan pada tata letak, programming, gubahan bentuk, keteraturan, hirarki, hingga struktur dan utilitas. Ketiadaan warna ini sebenarnya tetap berwarna, namun hanya satu warna dominan saja, umumnya putih, abu-abu, beige, coklat, dan hitam. Konsep ini masih populer digunakan saat ini terutama pada eksterior bangunan dan interior minimalis.



Ketiadaan warna juga didukung oleh pendapat yang mengedepankan kejujuran bahan, bahwa bahan harus digunakan secara tepat sesuai dengan kekuatannya dan kelemahannya serta ditampilkan apa adanya tanpa ditutupi. Pada kejujuran-bahan, warna cat putih pada eksterior bangunan digantikan oleh warna beton ekspos yang umum dianggap sebagai tampilan bangunan yang ‘belum jadi’. Istilah ‘truth to materials’ dipopulerkan oleh pematung Henry Moore (1972). Secara ekstrim kejujuran bahan berguna untuk tujuan estetik; namun sangat tidak praktis bila dikaitkan dengan peningkatan mutu dan ketahanan bangunan. Misalnya, beton ‘ekspos’ pun perlu diberikan ‘sealer’ agar tidak cepat rusak akibat kelembaban dan perubahan suhu, besi dan baja perlu dilapisi ‘meni’ atau pelapis anti karat, kemudian kayu pun perlu dilindungi dari serangga, air, dan api. Memang ada salah satu teori estetik (disebut Wabi Sabi) yang menganggap pentingnya keindahan akibat tempaan alam seiring berlalunya waktu, seperti besi yang berkarat, kayu yang menua, bata yang berkerak, dan beton yang berlumut. Akan tetapi pada prakteknya dikembalikan kepada prioritas ketahanan dan perawatan bangunan, sebab besi yang berkarat dan bata yang berkerak justru akan menyebabkan kualitas bangunan menurun sehingga menurunkan usia pakai bangunan.



Warna Primer dan Abstraksi Warna
Perkembangan seni modern suatu waktu berada dalam eksplorasi warna-warna primer. Seperti yang sudah kita bahas dalam dua artikel sebelumnya, penetapan warna primer diawali dengan percobaan pembiasan prisma Newton (1704) lalu diteruskan dengan sistem klasifikasi warna Munsell, Ostwald, dan Birren. Dilanjutkan oleh banyak peneliti dan pegiat warna lainnya. Di dunia seni dua dimensi dan tiga dimensi kemudian dikenal istilah Purism (1920), yaitu sekelompok seniman yang mengedepankan penggunaan warna-warna primer. Di dunia arsitektur, gerakan ini dipopulerkan oleh Le Corbusier dan Amedee Ozenfant (Riley, 1995: 77) serta oleh sekolah seni Bauhaus yang didirikan oleh Walter Gropius. Le Corbusier dan Ozenfant berpendapat bahwa warna memiliki sifat yang sangat kuat (shocking) terhadap indra penglihatan kita sehingga kita sebagai pengamat pasti akan melihat warna terlebih dahulu sebelum mengamati bentuk. Contoh bangunan rancangan Le Corbusier yang ‘berwarna’ adalah seperti pada gambar berikut.



Warna Sebagai Representasi Brand / Identitas
Praktek pembangunan seringkali didominasi oleh pendapat dan keinginan klien daripada mengikuti perkembangan teori-teori arsitektur, struktur, bahan, dan tata kota. Tidak sedikit bangunan diharuskan mengikuti warna brand perusahaan, apakah ia merah, jingga, putih, kuning, biru, hijau, atau ungu. Tentunya kita sering melihat di jalanan, warna-warna bangunan yang muncul berdampingan, kontras satu sama lainnya, tak peduli apakah warna itu serasi dengan bangunan di sekitarnya atau tidak. Tidak hanya di jalan-jalan besar namun juga di komplek-komplek perumahan karena setiap rumah dibangun dengan keunikan masing-masing. Di jalanan lintas kota, kita sering melihat rumah-rumah yang diberi cat merah, biru, kuning lengkap dengan iklan provider telepon selular berukuran raksasa. Di pusat-pusat kota, bangunan-bangunan tinggi lebih berfungsi sebagai billboard raksasa, sehingga tidak peduli apapun warna bangunannya, ia pasti tertutup warna iklan yang sedang menempati ruang billboard tersebut.



Pemaksaan penggunaan warna sesuai dengan brand dan identitas sebebas-bebasnya tanpa ada pembatasan ataupun usaha penyesuaian dengan lingkungan sekitar, hanya akan menyebabkan tidak sinkronnya wajah kota secara keseluruhan. Hal ini yang sangat dihindari oleh penganut teori ketiadaan warna baik Modernisme, International Style, Minimalism, Truth to Materials, dan lainnya. Namun hasil dari ketiadaan warna adalah wajah yang monoton, seperti yang kita kenal dengan sebutan ‘beige city’ dan ‘grey city’. Oleh karena itu ada juga yang mencoba berkompromi dengan menciptakan lingkungan yang lebih seimbang, di mana bangunan baru harus merespon lingkungan eksisting yang telah terbangun terlebih dahulu. Ada juga pemisahan antara warna luar dan warna dalam, di mana warna luar lebih ‘ringan di mata’ sementara warna interior bisa lebih bebas dikreasikan. Apakah penggunaan warna yang sangat beragam bisa tetap seimbang? Apakah sudah ada yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi warna dan harmoni warna? Semoga bisa sampai ke dalam pembahasan ini di artikel berikutnya.
Pragmatisme Gaya Populer dan Warna yang Populer (Trend Warna)
Warna pada arsitektur juga terkadang diperlakukan sebagai sesuatu yang temporal, tidak permanen. Ia bisa diubah-ubah setiap lima atau sepuluh tahun sekali sesuai dengan tren yang berlaku. Misalnya warna-warna monokrom yang sangat populer di kalangan anak muda saat ini mungkin menjadi pilihan ketika seseorang membangun kafe, hotel, restoran, bahkan kantor. Lalu kemudian pada jadwal pengecatan berikutnya mungkin ia menjadi putih atau mengikuti trend lainnya. Di sini pengambilan keputusan warna yang dipilih seolah menjadi tugas yang ringan karena bangunan akan senantiasa ‘berganti baju’ bila masanya tiba. Akan tetapi hal ini tidak dapat diterapkan pada bangunan yang sangat permanen ataupun bangunan-bangunan low maintenance seperti residensial padat huni, bangunan pendidikan, bangunan pemerintahan, bangunan publik, bangunan sewaan, dan rumah tinggal dengan budget terbatas. Juga tetap saja berlaku konsekuensi pemilihan warna terhadap lingkungan baik interior maupun eksterior. Sekalipun sebuah bangunan dicat ulang setiap tahunnya, warna bangunan itu akan memberi dampak pada pengguna dan pengamat, sehingga pertanyaan soal komposisi, harmoni, dan respon terhadap bangunan sekitar masih harus dipertimbangkan.
———————————————-
Wallahua’lam.
———————————————-
Referensi
Braham, W. W. (2019). Modern color/modern architecture: Amedee Ozenfant and the genealogy of color in modern architecture. Routledge.
Caivano, J. L. (2006). Research on color in architecture and environmental design: Brief history, current developments, and possible future. Color Research & Application: Endorsed by Inter‐Society Color Council, The Colour Group (Great Britain), Canadian Society for Color, Color Science Association of Japan, Dutch Society for the Study of Color, The Swedish Colour Centre Foundation, Colour Society of Australia, Centre Français de la Couleur, 31(4), 350-363.
Gropius, W., & Gropius, W. A. G. (1965). The new architecture and the Bauhaus (Vol. 21). MIT press.
Loos, A. (2019). Ornament and crime. Penguin UK.
Ou, L. C. (2015). Color emotion and color harmony. Handbook of color psychology, 401-418.
Riley, C. A. (1995). Color codes: Modern theories of color in philosophy, painting and architecture, literature, music, and psychology. UPNE.
Serra, J. (2013). The versatility of color in contemporary architecture. Color Research & Application, 38(5), 344-355.
Serra, J., García, Á., Torres, A., & Llopis, J. (2012). Color composition features in modern architecture. Color Research & Application, 37(2), 126-133.
Wilber, D. N. (1942). The role of color in architecture. Journal of the American Society of Architectural Historians, 2(1), 17-22.
[…] artikel sebelumnya kita sudah mendengar kalimat ‘Less is More’ oleh Mies van der Rohe (1947) (artikel klik di sini) yang membawa kita kepada Minimalism. Terlepas dari penerimaan publik terhadap bangunan yang […]